Seni Bersikap Bodo Amat: Kunci Bahagia Sejati atau Jebakan Sunyi yang Mematikan?

Halo, teman-teman semuanya.

Sedang merasa lelahkah kalian? Bukan lelah fisik karena lari maraton atau begadang mengerjakan tugas. Tapi lelah yang meresap lebih dalam. Lelah karena notifikasi yang tak henti berbunyi, yang menawarkan ekspektasi, komentar, atau sekadar berita tak penting yang menyita energi. Lelah karena memikirkan apa kata orang tentang pilihan hidup kita, tentang pakaian yang kita kenakan, tentang mimpi yang kita kejar. Lelah karena terus membandingkan diri dengan pencapaian orang lain di media sosial.

Di tengah hiruk pikuk dan tekanan dunia modern yang serba terhubung ini, muncul satu mantra yang terdengar begitu menggoda, begitu membebaskan, yaitu kata: “Bodo amat!”

Jangan skip artikel ini, karena bisa jadi, kalian tidak tahu apa efek sesungguhnya yang bisa terjadi di balik kata tersebut. Baca sampai akhir.

***

“Bodo amat!” Dua kata yang sederhana, namun terasa seperti sebuah perlawanan. Sebuah tameng baja yang bisa kita pakai untuk menangkis semua panah kritik dan penghakiman. “Ah, bodo amat lah apa kata mereka,” bisik kita pada diri sendiri. Dan untuk sesaat, rasanya lega. Beban di pundak terasa lebih ringan.

Sikap “bodo amat” kini telah menjadi semacam mantra ajaib bagi generasi yang kelelahan. Dianggap sebagai kunci untuk melindungi gerbang kebahagiaan, kedamaian batin, dan kesehatan mental. Tapi, saya ingin mengajak kalian berhenti sejenak dan bertanya: Apakah sesederhana itu? Apakah dengan mematikan rasa peduli, kita benar-benar akan menemukan kebahagiaan?

Atau… mungkinkah di balik topeng kebebasan itu, kita justru sedang membangun sebuah penjara kesunyian dan berbahaya di dalam diri kita?

Dalam video ini, kita akan mengupas pengertian sesungguhnya, menggali alasan mengapa kita begitu terpikat padanya, menyingkap sisi gelapnya yang jarang dibicarakan, dan yang terpenting, kita akan merumuskan langkah-langkah konkret untuk mempraktikkan “bodo amat” yang cerdas—yaitu sebagai sebuah seni hidup, bukan sebuah penyakit mental.

Baca juga: Cara menerbitkan buku secara mandiri

***

Bagian 1:

Makna “Bodo Amat” — Dua Sisi yang berbeda dari Koin yang Sama

Ketika kita mendengar kata “bodo amat”, apa yang terlintas di benak kalian? Mungkin gambaran seseorang yang berjalan santai di tengah keramaian, dengan headphone di telinga, tak terganggu oleh hiruk pikuk di sekitarnya. Cuek. Tidak peduli. Bebas.

Secara permukaan, itulah artinya. Namun, jika kita gali lebih dalam, “bodo amat” memiliki dua wajah yang sangat berbeda. Memahami perbedaannya adalah langkah pertama dan paling krusial.

Wajah Pertama: “Bodo Amat yang Cerdas” (Selective Ignorance)

Ini adalah bentuk “bodo amat” yang kita semua dambakan. Ini bukanlah tentang menjadi apatis atau tidak peduli pada segala hal. Justru sebaliknya. Ini adalah seni untuk secara sadar memilih apa yang pantas mendapatkan energi, waktu, dan emosi kita.

Bayangkan energi mental kita seperti baterai ponsel di pagi hari, 100%. Setiap kali kita memikirkan komentar negatif dari orang asing di internet, baterai kita berkurang 4%. Setiap kali kita cemas tentang tren fashion terbaru yang tidak kita ikuti, berkurang lagi 5%. Setiap kali kalian iri melihat teman kalian liburan ke luar negeri, berkurang lagi 8%. Jika kita terus begini, belum sampai sore hari, baterai kita sudah sekarat.

“Bodo amat yang cerdas” adalah kemampuan untuk berkata:

  • “Pendapat orang lain tentang hidup saya padahal dia bukan siapa-siapa? Bodo amat. Itu tidak layak mendapatkan 1% pun dari baterai energi saya.”
  • “Standar kesuksesan yang dipatok oleh masyarakat yang tidak sejalan? Bodo amat. Saya punya definisi sukses saya sendiri.”
  • “Drama kantor yang hanya menguras energi? Bodo amat. Saya akan fokus pada pekerjaan saya.”

Ini adalah sikap yang berakar dari kesadaran diri yang kuat. Kita tahu apa yang penting bagi kita —nilai-nilai kita, tujuan, atau hubungan yang kita hargai. Karena kita tahu apa yang penting, kita bisa dengan mudah mengidentifikasi apa yang tidak penting. Dan terhadap hal-hal yang tidak penting itulah, kita bersikap “bodo amat”.

Itu wajah yang pertama, sedangkan Wajah yg Kedua adalah: “Bodo Amat yang Beracun” (Toxic Apathy)

Ini adalah sisi gelapnya. Jika “bodo amat yang cerdas” adalah tentang memfilter, maka “bodo amat yang beracun” adalah tentang membangun tembok.

Sikap ini lahir dari rasa takut, kelelahan ekstrem, atau keputusasaan. Ini adalah mekanisme pertahanan yang kebablasan. Kalian pernah terluka oleh kritik, jadi kalian memutuskan untuk “bodo amat” pada semua masukan, termasuk yang konstruktif. Kalian pernah dikecewakan oleh orang lain, jadi kalian memutuskan untuk “bodo amat” pada semua hubungan, termasuk hubungan yang tulus.

“Bodo amat yang beracun” terdengar seperti ini:

  • “Atasan memberikan masukan agar presentasi saya lebih baik? Ah, bodo amat. Dia cuma cari-cari kesalahan.” (Padahal ini adalah kesempatan untuk berkembang).
  • “Pasangan saya bilang dia merasa kesepian dan butuh perhatian lebih? Bodo amat. Dia terlalu drama.” (Padahal ini adalah jeritan minta tolong untuk menyelamatkan hubungan).
  • “Ada masalah sosial yang mendesak di sekitar saya? Bodo amat. Bukan urusan saya, yang penting saya aman.” (Padahal ini adalah awal dari matinya empati dan kepedulian sosial).
  • “Kesehatan saya mulai menurun karena pola hidup yang buruk? Bodo amat. Hidup cuma sekali.” (Padahal ini adalah bentuk pengabaian terhadap diri sendiri).

Ini bukanlah kebebasan. Ini adalah penjara isolasi yang kita bangun sendiri. Kita mengunci diri di dalamnya, berpikir kita aman dari rasa sakit, padahal kita juga mengunci diri dari pertumbuhan, cinta, koneksi, dan makna. Ini adalah sikap apatis yang membuat hidup menjadi datar, hampa, dan tanpa tujuan.

Jadi, pertanyaan pertama yang harus kita ajukan pada diri sendiri adalah: Ketika saya berkata “bodo amat”, versi yang mana yang sedang saya praktikkan? Apakah saya sedang menghemat energi, atau sedang ketakutan dan membangun tembok?

Baca juga: Cetak buku massal_harga hemat!

***

Bagian 2:

Mengapa Kita Begitu Tergoda pada Sikap “Bodo Amat”?

Untuk bisa mengatasi sesuatu, kita harus paham akarnya. Mengapa sikap “bodo amat” ini terasa begitu relevan dan menjadi solusi yang begitu menarik bagi banyak orang di era sekarang? Jawabannya kompleks dan multi-lapis, terkait erat dengan kenyataan dan cara hidup kita hari ini.

Sebab pertama adalah karena: adanya  Tsunami Informasi dan Banjirnya Opini

Buka ponsel kalian. Dalam lima menit, kalian bisa dibombardir oleh: berita perang di belahan dunia lain, skandal selebriti, resep masakan viral, tips investasi dari “ahli” dadakan, khotbah online, dan yang paling berbahaya, ratusan opini dari orang-orang yang tidak kalian kenal tentang bagaimana kalian seharusnya hidup.

Otak kita tidak dirancang untuk memproses informasi dan stimulus sebanyak ini. Akibatnya? Kelelahan kognitif (cognitive fatigue). Ketika otak kita lelah, mekanisme pertahanan paling sederhana adalah dengan mematikannya. “Stop. Cukup. Saya tidak peduli lagi. Bodo amat.” Ini adalah cara kita untuk bertahan hidup di tengah lautan informasi yang mengancam menenggelamkan kita.

Sebab ke2 adalah karena: adanya Budaya Perbandingan dan Tekanan Kesempurnaan

Media sosial adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menghubungkan kita. Di sisi lain, ia adalah panggung perbandingan global yang tak pernah tutup. Kita membandingkan tubuh kita dengan influencer kebugaran, rumah kita dengan desainer interior, liburan kita dengan travel blogger, pencapaian karier kita dengan teman SMA yang jadi CEO, dan lain sebaginya.

Perbandingan ini melahirkan perasaan “tidak cukup baik” (inadequacy) pada diri kita. Tekanan untuk tampil sempurna—selalu bahagia, selalu produktif, selalu sukses—sangatlah menyesakkan. Ketika kita merasa tidak akan pernah bisa mencapai standar yang mustahil itu, ada dua pilihan: terus tersiksa, atau… “Bodo amat. Saya tidak akan ikut permainan ini lagi.” Sikap ini menjadi semacam pemberontakan terhadap tuntutan kesempurnaan yang tidak manusiawi.

Sebab ke3 Mengapa bodo amat relevan adalah karena: adanya Kelelahan Emosional dan Budaya “Hustle” yang Toksik

Kita hidup di zaman yang memuja kesibukan. “Hustle culture” atau budaya kerja keras tanpa henti. Istirahat dianggap kemalasan. Tidak punya “side hustle” dianggap tidak ambisius. Akibatnya adalah epidemi burnout atau kelelahan emosional.

Burnout lebih dari sekadar lelah. Ini adalah kondisi kekosongan emosional, sinisme, dan perasaan tidak efektif. Ketika kalian berada di titik ini, kepedulian terasa seperti barang mewah yang tidak bisa kalian miliki. Kalian tidak punya lagi energi untuk peduli—baik pada pekerjaan, pada orang lain, atau bahkan pada diri sendiri. “Bodo amat” bukan lagi pilihan, tapi menjadi satu-satunya kondisi yang tersisa. Baterai kalian bukan lagi sekarat, tapi sudah benar-benar 0%.

Dan Sebab ke4 adalah karena kemungkinan adanya: Trauma dan Luka Batin Masa Lalu

Bagi sebagian orang, sikap “bodo amat” adalah baju zirah yang ditempa dari luka. Mungkin kalian dibesarkan di lingkungan yang selalu mengkritik. Mungkin kamu pernah dikhianati oleh orang yang kamu percaya. Mungkin kamu pernah gagal habis-habisan setelah berusaha sekuat tenaga.

Rasa sakit dari pengalaman-pengalaman ini bisa sangat membekas. Untuk melindungi diri agar tidak merasakan sakit yang sama lagi, kita membangun benteng pertahanan emosional. “Jika aku tidak peduli, aku tidak akan bisa disakiti lagi.” “Jika aku tidak berharap, aku tidak akan kecewa lagi.” Sikap “bodo amat” di sini adalah bekas luka yang mengeras, sebuah cara untuk mengebiri perasaan agar terhindar dari penderitaan.

Baca juga: Rahasia Bangun Pagi ala “The Miracle Morning” – Hidupmu Bakal Berubah Total!

***

Bagian 3:

Sisi Gelap — Bahaya Tersembunyi di Balik Topeng “Bodo Amat”

Sepintas, “bodo amat” terasa seperti solusi. Kita merasa lebih tenang, lebih terkendali. Tapi ini adalah ketenangan palsu. Seperti minum air laut saat kita haus; memberikan kelegaan sesaat sebelum membawa kita pada dehidrasi yang lebih parah.

Mari kita singkap konsekuensi nyata dan seringkali tragis dari membiarkan sikap apatis ini mengambil alih hidup kita.

Bahaya atau sisi gelap pertama adalah:  Stagnasi dan Kematian Potensi Diri

Ini mungkin bahaya yang paling fundamental. Pertumbuhan—baik secara pribadi, profesional, maupun spiritual—membutuhkan umpan balik (feedback). Kita perlu tahu di mana letak kekurangan kita agar bisa memperbaikinya. Kita perlu saran bahkan kritik yang membangun untuk mengasah keterampilan kita.

Ketika kalian mengadopsi sikap “bodo amat” pada semua masukan, berarti kalian menutup pintu bagi pertumbuhan. Kalian menjadi seperti tanaman yang menolak air dan sinar matahari. Kalian tidak akan mati seketika, tapi kalian akan berhenti tumbuh.

Sisi gelap dari sikap “bodo amat” ke-2 adalah Keretakan Hubungan dan terciptanya Jurang Kesepian

Manusia adalah makhluk sosial. Kita hidup terprogram untuk terhubung satu sama lain. Hubungan yang sehat—dengan pasangan, keluarga, teman—dibangun di atas fondasi kepedulian timbal balik atau SALING.

Saat kita terus-menerus bersikap “bodo amat” terhadap perasaan, kebutuhan, dan cerita orang-orang terdekat, Kita sedang mengirimkan pesan yang sangat jelas: “Kamu tidak penting. Aku tidak peduli” Awalnya mereka mungkin akan mencoba mengerti. Tapi lama-kelamaan, mereka akan lelah. Mereka akan berhenti berbagi. Mereka akan menjaga jarak atau bahkan menjauhi kita.

Benteng yang kita bangun untuk melindungi diri dari rasa sakit justru menjadi penjara yang mengisolasi kita dari cinta dan kehangatan. Kita mungkin berhasil menghindari sakit hati, tapi kita juga akan kehilangan sukacita, dukungan, dan tawa bersama. Pada akhirnya, “bodo amat” adalah jalan menuju kesepian yang mendalam.

Sisi gelap dari sikap “bodo amat” ke-3 adalah Hilangnya Empati dan Matinya Rasa Kemanusiaan

Empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan, untuk melihat dunia dari sudut pandang mereka. Empati adalah perekat masyarakat. Ia yang membuat kita menolong korban bencana, membela yang tertindas, dan sekadar mendengarkan teman yang sedang berduka.

“Bodo amat yang beracun” adalah racun bagi empati. Semakin sering kita berkata “itu bukan urusan saya”, semakin kecil dunia kita. Lingkaran kepedulian menyusut hingga hanya tertuju pada diri kita sendiri. Kita menjadi tidak peka terhadap penderitaan orang lain. Ketidakadilan di depan mata tidak lagi mengusik hati. Ini adalah proses erosi kemanusiaan dalam diri kita secara perlahan.

Sisi gelap dari sikap “bodo amat” ke-4 adalah Kehilangan Makna dan Tujuan Hidup

Psikiater Viktor Frankl, dalam bukunya Man’s Search for Meaning, menyatakan bahwa dorongan utama dalam hidup manusia bukanlah kesenangan, melainkan pencarian dan pengejaran makna. Makna seringkali ditemukan dalam hal-hal yang kita pedulikan secara mendalam: sebuah tujuan, sebuah keyakinan, cinta untuk seseorang, atau pengabdian pada sesuatu atau seseorang.

Jika kalian bersikap “bodo amat” pada segalanya, jika tidak ada lagi yang cukup penting untuk diperjuangkan, untuk dikorbankan, atau bahkan untuk dipikirkan, dari mana kalian akan menemukan makna? Hidup menjadi serangkaian hari yang kosong dan tak berarti. Kalian mungkin tidak sedih, tapi kalian juga tidak bahagia. Kalian hanya… ada. Ini adalah krisis eksistensial yang jauh lebih menakutkan daripada kecemasan sesaat. Ini adalah kekosongan jiwa.

Lalu, bagaimana agar sikap bodo amat yang tepat bisa kita terapkan?

Berikut Langkah-Langkah Konkret — Menguasai Seni “Bodo Amat yang Cerdas”

Oke, kita sudah melihat dua sisi koinnya, memahami akarnya, dan menyadari bahayanya. Sekarang, bagian yang paling penting: Bagaimana caranya? Bagaimana kita bisa melepaskan “bodo amat yang beracun” dan memeluk “bodo amat yang cerdas”?

Ini bukanlah saklar yang bisa dibalik. Ini adalah sebuah latihan, sebuah keterampilan yang perlu diasah setiap hari. Berikut adalah langkah-langkah konkret yang bisa kita usahakan.

Baca juga: Selalu Merasa Kalah dari Orang Lain? Ini Jawaban yang Kamu Butuhkan!

Langkah 1: Audit Hidup dengan “Lingkaran Kendali”

Ini adalah fondasinya. Buat dua lingkaran konsentris (satu lingkaran kecil di dalam lingkaran yang lebih besar).

  • Lingkaran Dalam: Tulis semua hal yang sepenuhnya berada dalam kendali kita. Contoh:
    • Reaksi saya terhadap suatu kejadian.
    • Kata-kata yang keluar dari mulut saya.
    • Tindakan yang saya ambil.
    • Seberapa keras saya berusaha.
    • Batasan (boundaries) yang saya tetapkan.
    • Bagaimana saya merawat tubuh saya.
    • Nilai-nilai yang saya pegang, dan sejenisnya
  • Sedangkan Lingkaran Luar adalah semua hal yang kita pedulikan atau cemaskan, tetapi tidak bisa kita kendalikan secara langsung. Contoh:
    • Opini orang lain tentang saya.
    • Perasaan orang lain.
    • Hasil akhir dari usaha saya (kita bisa kontrol usaha, bukan hasil).
    • Masa lalu.
    • Cuaca, ekonomi, politik.
    • Apa yang orang lain katakan di media sosial.

Latihannya adalah: Sadari di mana kita meletakkan energi. Apakah di lingkaran dalam atau luar? “Bodo amat yang cerdas” berarti secara sadar memindahkan 90% fokus dan energi kita ke lingkaran dalam, dan bersikap “bodo amat” pada sebagian besar hal di lingkaran luar. Kita tidak bisa mengontrol apakah orang akan menyukai postingan kita, tapi kita bisa mengontrol kualitas konten yang kita buat. Kita tidak bisa mengontrol gosip di kantor, tapi kita bisa mengontrol untuk tidak ikut serta. Fokuslah di sana.

Langkah ke-2 untuk Menguasai Seni “Bodo Amat yang Cerdas”adalah dengan Mendefinisikan Kembali “Peta Harta Karun” Kita (Nilai-Nilai Inti yang kita perjuangkan)

Kita tidak akan tahu apa yang penting jika kita tidak tahu apa yang tidak penting dari diri kita. Luangkan waktu untuk benar-benar merenung dan menuliskan 3-5 nilai inti (core values) yang paling fundamental. Bukan apa yang menurut orang tua atau masyarakat penting, tapi apa yang benar-benar penting bagi kita.

Itu bisa berupa Pertumbuhan, Kreativitas, Keluarga, Integritas, Ketenangan, Petualangan, atau Pelayanan.

Tulis nilai-nilai ini dan letakkan di tempat yang bisa dilihat setiap hari. Nilai-nilai ini adalah kompas kita. Mereka menjadi filter otomatis kita, misalnya:

  • Ketika ada kemungkinan pekerjaan dengan gaji besar tapi harus mengorbankan waktu dengan keluarga (dan jika “Keluarga” adalah nilai utama kita), maka kompas ini akan berkata “tidak”. Kita bisa bersikap “bodo amat” pada peluang tersebut.
  • Ketika ada kritik pedas tentang karya kalian (dan jika “Pertumbuhan” adalah nilai utama kalian), maka kompas akan membantu memilah: mana bagian yang bisa kalian pelajari, mana bagian yang hanya hinaan? Kalian bisa bersikap “bodo amat” pada hinaannya, tapi mengambil pelajarannya.

Langkah ke-3 untuk Menguasai Seni “Bodo Amat yang Cerdas”adalah dengan Latih Otot Empati Secara Sadar

Untuk melawan “bodo amat yang beracun”, kita perlu secara aktif melatih kebalikannya: empati. Empati itu seperti otot; jika tidak dilatih, ia akan melemah. Cara melatihnya adalah dengan:

  • Pertama: Mendengarkan untuk Memahami, Bukan untuk Menjawab: Saat seseorang berbicara, tahan keinginan untuk langsung menyela, memberi nasihat, atau menceritakan pengalaman kalian. Cukup dengarkan. Coba pahami: Apa yang sebenarnya mereka rasakan? Mengapa mereka merasa begitu?
  • Kedua: Tanyakan “Mengapa?”: Sebelum menghakimi seseorang (“Kenapa sih dia marah-marah terus?”), coba tanyakan pada diri sendiri, “Kira-kira, apa yang sedang terjadi dalam hidupnya yang membuat dia seperti itu?” Ini membuka pintu pemahaman, bukan penghakiman.
  • Dan cara Ketiga adalah dengan: Perluas Wawasan: Baca buku, tonton film dokumenter, atau ikuti akun media sosial yang menceritakan perspektif hidup yang sangat berbeda dari kalian. Ini akan mengingatkan kalian bahwa dunia ini jauh lebih besar dari gelembung kalian sendiri.

Langkah ke-4 untuk Menguasai Seni “Bodo Amat yang Cerdas”adalah dengan: Terapkan “Diet Informasi”

Kita tidak bisa bersikap “bodo amat” pada tsunami jika kita terus berdiri di Pantai. Cara diet informasi adalh dengan:

  • Pertama: Digital Detox: Tetapkan waktu setiap hari di mana kita benar-benar lepas dari ponsel. Misalnya, satu jam sebelum tidur dan satu jam setelah bangun tidur. Atau hari Minggu bebas media sosial. Beri otak kita waktu untuk beristirahat dan bernapas.
  • Kdeua: Unfollow dengan Kejam: Kurasi linimasa media sosial kita. Berhenti mengikuti akun-akun yang secara konsisten membuat kita merasa cemas, iri, atau perasaan negatif lainnya. Linimasa kita adalah “rumah digital” kita; kita berhak memutuskan siapa yang boleh masuk.

Langkah ke-5 untuk Menguasai Seni “Bodo Amat yang Cerdas”adalah dengan Praktikkan Welas Asih pada Diri Sendiri (Self-Compassion)

Seringkali, orang yang paling sulit untuk kita hadapi bukanlah orang lain, tapi suara kritis di dalam kepala kita sendiri. Kita “bodo amat” pada dunia luar, tapi kita menyiksa diri sendiri di dalam.

  • Pertama, Bicara pada Diri Sendiri Seperti pada Sahabat: Ketika kita gagal atau membuat kesalahan, apa yang akan kita katakan pada sahabat kita? Mungkin, “Tidak apa-apa, semua orang membuat kesalahan. Kamu sudah berusaha yang terbaik. Ayo coba lagi besok.” Sekarang, coba katakan itu pada diri kita sendiri.
  • Kedua, Akui Kemanusiaan Bersama: Sadari bahwa penderitaan dan kegagalan adalah bagian dari pengalaman menjadi manusia. Kamu tidak sendirian. Ketika kalian merasa gagal, ingatlah bahwa jutaan orang lain di dunia juga pernah merasakan hal yang sama. Ini mengurangi rasa terisolasi.

***

Kesimpulan:

‘Bodo amat’ Bukan Tentang Tidak Peduli, Tapi Tentang Peduli pada Hal yang Benar

Teman-teman,

Kita memulai perjalanan ini dengan sebuah pertanyaan: apakah “bodo amat” adalah kunci kebahagiaan atau jebakan kesengsaraan? Jawabannya, seperti yang telah kita lihat, adalah: tergantung.

“Bodo amat” yang lahir dari rasa takut, yang membangun tembok, yang mematikan rasa, adalah jalan sunyi menuju kehidupan yang hampa. Itu adalah penyerahan diri, bukan kebebasan.

Tetapi, “bodo amat yang cerdas”—yang lahir dari kesadaran diri, yang berakar pada nilai-nilai yang kuat, yang dengan sengaja memilih di mana harus meletakkan energi kita yang berharga—adalah salah satu keterampilan bertahan hidup paling penting di abad ke-21.

Ini bukanlah tentang menjadi orang yang dingin dan tidak peduli. Justru sebaliknya. Dengan bersikap “bodo amat” pada kebisingan—pada drama yang tidak perlu, pada ekspektasi yang tidak realistis, pada perbandingan yang meracuni—justru kita menciptakan ruang dan energi untuk peduli secara mendalam pada hal-hal yang benar-benar penting.

Kebahagiaan sejati tidak ditemukan dengan mematikan perasaan kita. Ia ditemukan dengan mengarahkannya secara cerdas. Kunci kebahagiaan bukanlah tidak peduli pada apa pun, melainkan peduli pada beberapa hal yang tepat, dan melepaskan sisanya.

Jadi, mari kita berhenti mencoba menjadi orang yang “bodo amat” pada segalanya. Mari kita mulai menjadi seniman dalam Seni Memilih Kepedulian Kita. Alokasikan energi kita dengan bijaksana, dan bangunlah sebuah kehidupan yang tidak hanya terlihat bagus di permukaan, tetapi juga terasa kaya, bermakna, dan membahagiakan dari dalam.

Itulah kebebasan yang sesungguhnya.

Salam …

***

 

 

Artikel Terbaru

10 November 2025

Halo, teman-teman semuanya. Sedang merasa...

03 August 2025

Pagi bukan sekadar waktu. Ia adalah fondasi. Cara...

17 July 2025

Apa jadinya jika hidup kita terus-menerus berubah...

02 March 2025

Pernahkan pada suatu moment, kalian mengatakan...

01 March 2025

Kesepian bukan sekadar perasaan melankolis yang...

28 February 2025

Manusia adalah mahluk sosial. Kita membutuhkan...

26 February 2025

Semua orang pasti ingin hidup bahagia. Aman...

26 February 2025

Menemukan orang yang tulus itu sulit. Sama...

Our Facebook

INGIN KONSULTASI?