Saya tidak bisa menggambar. Saat mengonsep sesuatu menjadi gambar, biasanya saya hanya menggunakan oret-oretan sekedarnya, serta sampel-sampel gambar. Bekal saya hanyalah secuil pengalaman menyusun panduan ilustrasi cerita anak.
Rancang Konsep Kaver Perdana
Berbekalkan pengalaman itu, saya perdana mengonsep kaver tahun 2008. Yaitu, kaver buku indie saya: Let’s Talk about Friendship, Love & Marriage, and Ordinary Miracles. Kala itu, saya sangat terkesan dengan konsep kaver Eat, Pray, Love karya Elizabeth Gilbert. Saat melihat tulisan Eat dari pasta, Pray dari tasbih, dan Love dari kelopak bunga, kesan keseluruhan saya adalah: clean, simple, dan cantik.
Kesan dan nuansa itulah yang ingin saya tampilkan di kaver LTA. Secara keseluruhan, LTA memang berasal dari kumpulan tulisan saya, Airin Nisa, dan Shinta Anita. Saya mengategorisasinya berdasarkan tema, lalu mengurutkan setiap artikel berdasarkan alur yang saya pikir menyamankan pembaca.
Karena kami bertiga bersahabat, konsep kaver saya adalah: cangkir kopi. Cangkir ini menyimbolkan: obrolan yang biasa terjadi saat para sahabat bertemu dan ngopi-ngopi. Obrolan yang mengangkat tema-tema dalam LTA. Konsep ini saya sampaikan pada desainer kaver LTA, yang juga sahabat saya: Yena Badruddin.
Yena sempat mengirim 3 alternatif kaver. Namun yang membuat saya jatuh hati pada pandangan pertama adalah alternatif ke-3:
Belajar Menerjemahkan Keinginan Klien
Sejak LTA terbit, saya kerap diminta Mas Catur untuk mengonsep kaver pesanan klien jasa penerbitan HalamanMoeka Publishing. Dengan catatan, saat saya luang dari kegiatan mengelola toko buku online.
Kenapa harus menunggu luang? Karena saat saya mengonsep kaver, saya mesti baca dulu naskah buku itu. Gunanya, untuk menangkap ‘feel’ penulis, kemudian memvisualisasikannya dalam rancangan konsep. Ini tentu perlu waktu. Itu pula alasannya, tidak semua kaver klien HalamanMoeka Publishing, saya yang konsepkan.
Betapapun, mengonsep kaver klien, berarti belajar menerjemahkan keinginan klien. Saat mengonsep 12 kaver serial buku karya Bu Agnes Jessica, misalnya. Saya sempat bingung mau mulai dari mana, karena kala itu naskahnya belum siap. Alhamdulillah, Bu Agnes mengajak kami bertemu di suatu toko buku. Di sana, beliau berkeliling toko buku, menunjukkan kaver-kaver buku yang diinginkan. Mulai dari jenis font, nuansa, sampai tema besar dari serial tersebut. Kami juga berdiskusi seputar memecah tema besar tersebut menjadi 12 tema kecil, seperti: hutan, padang rumput, danau, langit, istana, padang bunga, pelangi, lembah, gunung, jendela dengan sinar matahari, dan lain sebagainya.
Di rumah, saya mengerjakan PR saya dengan: browsing sampel gambar untuk desainer kaver. Karena tema besarnya surga, maka saat browsing gambar sampel hutan misalnya, saya pilih yang bernuansa ‘gaib’, ‘damai’, ‘agung’, ‘tenang’, ‘indah’. Sampel-sampel gambar inilah yang saya lampirkan pada desainer kaver, sebagai rujukan untuk membuat kaver.
Rumus Merancang Konsep Kaver (ala Saya)
Kini, dari balik layar, saya belajar mengonsep sejumlah genre buku. Mulai dari thriller, fiksi sejarah, buku motivasi, buku kumpulan refleksi, novel remaja, novel cinta, juga yang akan terbit: antologi seputar tulis-menulis.
Jika sistematika pekerjaan balik layar ini dirumuskan dengan konteks menerbitkan indie, maka persiapan saya saat merancang konsep kaver adalah:
- Baca naskah dari awal sampai akhir, untuk menangkap ‘feel’ naskah. Jika naskah tersebut belum rampung, berdiskusilah dengan penulis. Gali sedalam-dalamnya tentang ruh dan isi naskah: tema, konflik, tokoh, alur, ending.
- Gali juga kaver-kaver idaman penulis untuk calon bukunya. Cermati kaver-kaver tersebut, tarik benang merahnya dengan naskah ini. Jangan lupa mencatat, jika ada permintaan khusus dari penulis, seperti font, warna, foto, dlsb.
- Setelah mendapatkan ‘feel’ dari naskah, browsing sampel gambar untuk desainer kaver. Sebanyak apa? Sebanyak yang Anda pikir, desainer kaver Anda paham. Saya sendiri, biasanya melampirkan 3-4 sampel, disesuaikan dengan konteks.
- Saat browsing sampel gambar, gunakan kata kunci berbahasa Inggris dulu. Ini karena, umumnya, gambar yang ditemukan dengan kata kunci berbahasa Inggris lebih variatif, resolusinya lebih besar, dan tidak pecah. Jika pencarian dengan kata kunci berbahasa Inggris nihil, baru gunakan bahasa Indonesia.
- Sampaikan detil penting pada desainer kaver seputar: ukuran kaver, tebal buku/ jumlah halaman (agar desainer kaver bisa menentukan ukuran punggung buku), materi kaver depan (seputar judul, nama penulis, nama penerbit, logo penerbit), materi kaver belakang (seputar sinopsis, endorsement, alamat penerbit, atau mungkin, sekilas profil penulis)
- Jika perlu, lampirkan thumbnail.
- Bahkan dengan segala persiapan yang Anda lakukan di atas, selalu, selalu tanyakan pada desainer kaver: “Memungkinkankah ide ini direalisasikan? Sulitkah mengerjakannya?”. Jika memungkinkan, alhamdulillah. Namun jika tidak, artinya, plan B: memikirkan konsep alternatif yang lebih memungkinkan untuk diwujudkan 🙂