Menafsir Permukaan – Kumpulan Puisi Astri Kusuma

2013 adalah tahun yang tak biasa. Bagi saya, tahun ini adalah
pintu menuju sesuatu bernama kepala tiga. Beberapa bulan
sebelum Mei datang, saya mulai berpikir untuk memberi
hadiah bagi diri sendiri saat tanggal ulang tahun itu tiba. Lalu
hal itu berkembang menjadi sebuah keinginan untuk berbagi
hadiah dengan sahabat dan kawan-kawan lainnya, termasuk
dengan mereka yang juga berada di dalam naungan bulan
yang sama.

Ketika duduk di bangku SMP, saya pernah berbagi mimpi
dengan sahabat saya, Perdani Budiarti Hayuningtyas.
Dengannya saya menyalakan mimpi untuk membuat buku
bersama. Saya menulis puisi, dia membuat ilustrasi. Sebuah
impian masa muda. Bertahun-tahun sejak kami berseragam
putih biru, mimpi itu tertimbun derasnya kejadian dalam
kehidupan. Kami nyaris lupa, apalagi kami kemudian kuliah
di kota yang berbeda. Dia di Solo, saya di Jogja. Syukurlah di
Jogja ada yang mengingatkan saya pada mimpi itu. Sahabat
saya, Andyseno Indriatmoko, meminta saya untuk menulis
buku. Waktu itu saya katakan bukan saya tak mau, tapi saya
merasa tak mampu.

Buku ini tak mungkin hadir tanpa dukungan banyak pihak.
Selain kedua sahabat yang saya sebutkan di awal, saya
berhutang semangat pula kepada Fahri Salam, seorang sahabat
yang pernah memberikan sentilan ringan agar saya “menulis
yang agak ciyus supaya bisa dibukukan.” Semoga saja
kumpulan puisi ini cukup ciyus bagi seorang Fahri Salam.
Pertemuan dengan orang-orang baru ternyata membuat
saya lebih bersemangat menyiapkan buku ini. Terima kasih
kepada Pak Erik Prasetya yang mau menjelaskan dunia
fotografi kepada orang awam seperti saya. Penjelasan beliau
tentang puitis dan pekatnya kesunyian foto-foto karya
Sibylle Bergemann telah memberi wawasan baru yang
menyenangkan. Terima kasih kepada Rony Zakaria yang
tulisannya tentang penerbitan buku ENCOUNTERS telah
memberi inspirasi tentang perjuangan menyiapkan buku
pertama. Saya berterimakasih juga kepada Pak Wildan
Pramudya yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi
dan memberi banyak saran tentang puisi.

Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Winda Noveriyan
yang telah mengijinkan saya menggunakan foto karyanya.
Saya masih ingat ketika suatu hari tiba-tiba dia meminta
saya menjadi modelnya, dan ternyata dia harus bersabar
menghadapi saya yang sering mati gaya di depan kamera.
Keluarga adalah alasan yang menguatkan untuk bertahan di
dua jalan yang berlainan. Terima kasih kepada orang tua dan
adik-adik saya, dan terima kasih kepada Johan Firmansyah,
teman belajar yang tak kenal menyerah. Buku ini saya
persembahkan pula untuk Aulia Kusuma Firmansyah.
Pernah merasakannya tumbuh dalam tubuh adalah sebuah
anugerah.

Di atas semuanya, terima kasih kepada Allah S.W.T atas
tiga puluh tahun ini. Semoga saya cukup pandai menarik
pelajaran dari semua pengalaman yang diberikanNya.

Artikel Terbaru

23 March 2024

Manusia adalah makhluk yang labil. Hatinya mudah...

23 March 2024

Keinginan untuk dihargai dan disukai orang lain...

21 March 2024

Kita semua percaya bahwa hidup itu mengalir...

18 March 2024

Tahukah kalian apa itu kekuatan...

15 March 2024

Bagaimana kita bisa menghabiskan seekor kambing?...

13 March 2024

Komitmen adalah janji. Sebuah ikatan kuat...

13 December 2023

Dalam menjalani hidup, banyak rintangan yang...

22 September 2023

Banyak orang mengatakan bahwa kebahagiaan adalah...

Our Facebook

INGIN KONSULTASI?