Belajar Politik dari Kisah Wayang
Wayang memang tak bisa lepas dari dunia politik. Pagelaran lakon wayang penuh dengan pelajaran ilmu politik dalam arti yang luas. Ada intrik untuk mendapatkan kekuasaan, mengalahkan lawan, bahkan menyusun tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Seperti ilmu yang lain, ilmu politik pun demikian. Jika dimanfaatkan dengan salah ia akan menghancurkan dan jika dimanfaatkan dengan benar ia akan menyejahterakan.
Di dalam kisah perwayangan, ada tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari perkara perpolitikan kekuasaan. Ia hidup sepanjang zaman, bahkan hingga sekarang. Ia bernama Sengkuni.
Suatu ketika, Prabu Destarasta ingin menghadiahi anak-anak Pandu hamparan tanah yang cukup luas untuk mendirikan sebuah kerajaan. Semenjak Pandu mangkat, dan ia menjabat sebagai raja Hastinapura, otomatis anak-anak Pandu yang berjumlah lima orang yang semuanya lelaki itu di bawah pengasuhannya. Untuk merealisasikan keinginannya itu Prabu Destarasta meminta pendapat patihnya, Sengkuni.
Niat baik itu dimanfaatkan oleh Sengkuni menjerumuskan Pandawa supaya hidup menderita. Maka ia mengusulkan kepada Prabu Destarasta agar Pandawa diberi tanah yang masih berupa hutan, yang disebut sebagai hutan Wanamarta. Hutan ini terkenal sangat angker, siapa pun yang masuk ke dalamnya dijamin tidak bisa keluar lagi bahkan akan celaka.
Skenario Sengkuni berjalan sangat mulus, sebab Puntadewa – sulung Pandawa, menerima dengan ikhlas tanah pemberian pamannya. Ia bersama adik-adiknya melakukan babat alas, bekerja keras, tak lama kemudian hutan Wanamarta berubah menjadi negeri yang sangat elok. Negeri itu dinamai Amarta.
Popularitas Amarta membuat Sengkuni geram. Akal liciknya kembali ia mainkan. Ia ingin Pandawa tumpas dari muka bumi. Sayangnya, kelicikan tidak selalu membawa kemenangan. Pandawa selalu bisa lolos dari lubang jarum. Puncak kelicikan Sengkuni ialah ketika ia berhasil mempengaruhi kebijakan politik Duryodana – Raja Hastinapura pengganti Prabu Destarasta, untuk berperang melawan para sepupunya, yang tak lain para Pandawa.
Sengkuni menjadi personifikasi tokoh licik pada setiap zaman pemerintahan Republik Indonesia tercinta. Ia menyusup ke dalam sendi-sendi pemerintahan dari berbagai tingkatan. Pada level RT atau RW ada Sengkuni yang bermain. Pada level di atasnya: Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi bahkan pemerintah tingkat pusat selalu ada tokoh seperti Sengkuni. Ia memainkan dirinya sebagai tokoh intelektual. Ia bisa mengendalikan anggaran belanja pemerintahan. Ia juga berperan menentukan suatu kebijakan yang dapat menguntungkan diri dan kelompoknya.
Hebatnya Sengkuni, sepak terjangnya tiada mudah terendus namun bisa dirasakan. Tak heran jika pedang hukum tak bisa menyentuhnya, orang lain yang dikorbankan.
Sengkuni adalah salah satu contoh tokoh wayang yang berperilaku tidak terpuji. Ada banyak tokoh wayang yang berperilaku terpuji yang dapat dipelajari karakternya. Sebut saja salah satunya adalah Adipati Karna. Saya sangat mengagumi tokoh ini – saya belakangan menyadari tentang kesamaan nama dengannya – sebab sampai di akhir hidupnya ia masih teguh dalam sikap politiknya.
Adipati Karna mempunyai nama lain sangat banyak yakni Basukarno, Radheya, Basuseno, Wresa, Sutaputra, Anggadipa, Suryaputra, Suryatmojo, Talidarma, atau pun Bismantaka. Ia dilahirkan oleh Dewi Kunti melalui telinganya, makanya diberi nama Karna yang berarti telinga. Bapaknya Dewa Surya, makanya ia disebut sebagai Suryaputra atau Suryatmojo. Ketika bayi hingga remaja ia dalam asuhan Adirata, seorang kusir kereta.
Seperi remaja lainnya, ia juga ingin hidup mukti wibawa. Garis nasibnya mengantarkan dirinya berkenalan dengan putra mahkota Hastinapura, Duryodana atau Suyudana. Sejak saat itu, Karna memantapkan hati berbakti dan mengabdi kepada Hastinapura serta bersetia kepada Duryodana.
Sebelum perang Bharatayuda dimulai, Karna ditemui oleh Dewi Kunti, ibu kandungnya. Kedatangan Kunti ini dilakukan setelah Bathara Kresna gagal membujuk Karna supaya bergabung dengan pasukan Pandawa yang tak lain adik-adiknya sendiri. Bahkan Karna merelakan melepas dan menyerahkan pusaka berupa anting-anting yang bernama Pucunggul Maniking Surya dan rompi baja Kawaca kepada Kresna, supaya Pandawa menang dalam perang besar tersebut.
Pertemuan anak dan ibu ini sungguh mengharukan. Kunti mengulang permintaan agar Karna bergabung dengan Pandawa. Karna tetap bergeming dengan sikapnya. Namun, ia tetap menghormati Kunti sebagai ibu kandungnya. Kisah ini dapat Anda baca di Kresna Duta dan Karna Berjumpa Ibu Kandungnya.
Adipati Karna dapat digunakan sebagai contoh bagaimana cara berpolitik yang anggun dan elegan. Karna adalah purwarupa politikus yang berkarakter kuat, tidak plin-plan, teguh dalam bersikap, tidak korupsi dan setia kepada keyakinannya.
***
Melalui lakon wayang bukan hal tabu membicarakan politik. Saya sangat salut dengan dalang yang pertama kali membuat cerita Petruk Dadi Ratu. Brilian betul dalang tersebut. Petruk adalah gambaran rakyat jelata yang tak paham ilmu politik apalagi ilmu pemerintahan, namun ia dapat menduduki tahta sebuah kerajaan. Ia menjadi raja di Kerajaan Lojitengara dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh.
Seperti dituturkan dalam lagu Petruk Dadi Ratu (karya Andjar Any) yang dinyanyikan oleh Mus Mulyadi: petruk dadi ratu / nyangga pincuk udut crutu / ratu suralaya / patihe narada / yen lungguh sikil jigang munggah meja / cengengas-cengenges / tambur kon nabuh dewa / dewa-dewa bingung / petruk ngaji mumpung / dipolne-dipolne / anggone dadi jalwa tukung / mbendino mangan / nganti wetenge mlembung / jreng jreng jreng jreng / petruk dadi ratu / nyangga pincuk udut crutu / dadi ra karuan / ilange tatanan.
Petruk menjadi raja adalah kecelakaan sejarah. Ia menerima titipan jimat yang bernama Kyai Jamus Kalimasada milik Bathara Kresna, dari tangan Bambang Priyambada. Sudah bisa diduga, ketika Petruk menjadi raja semuanya jadi kacau-balau. Tatanan pemerintahan amburadul. Petruk memikirkan kenyang perutnya sendiri, ia cuma berleha-leha. Beruntung Bathara Kresna segera turun tangan sehingga kekacauan dan dagelan politik di Lojitengara dapat dipulihkan.
Lakon Petruk Dadi Ratu menginspirasi saya untuk membikin pasemon keadaan negeri tercinta dengan tulisan yang berjudul Giliran Petruk Jadi Presiden. Saya tak telak-telak menjelekkan perilaku Petruk seperti yang digambarkan dalam Petruk Dadi Ratu, namun pada tiga tahun pertama pemerintahan Presiden Petruk saya bikin kalau ia mempunyai prestasi yang ngedab-ngedabi. Misalnya ia berhasil menekan kebiasaan korupsi di pemerintahannya, negeri Suralaya berhasil surplus pangan, dan membuat nama moncer Republik Suralaya diperhitungkan di dunia internasional.
Situasi yang membuat rakyat selalu tersenyum bahagia tersebut ketika Presiden Petruk masih memegang jimat Kyai Jamus Kalimasada. Namun, ketika jimat tersebut diminta oleh Bathara Kresna, pamor Petruk surut. Legitimasinya mulai dipertanyakan oleh rakyatnya. Apalagi ia mulai berperilaku kolusi, korupsi dan nepotisme. Pemerintahan Petruk berada di senja kala.
Tak hanya pada Giliran Petruk Jadi Presiden saja yang saya bikin pasemon terhadap lucunya kondisi perpolitikan di Republik tercinta. Hampir semua tulisan di buku ini, nyemoni mereka-mereka yang sedang duduk di tampuk kekuasaan. Saya meminjam tokoh Duryodana, Drona, Samiaji, bahkan Semar. Kisah tentang mereka adalah cermin perilaku kita dalam berpolitik di era demokrasi ini.
Jadi bagi yang tersentil nggak perlu tersinggung.
Telukjambe Timur, April 2014
Anda bisa mendapatkan buku ini melalui penulis langsung di: sukarno.suryatmojo@gmail.com