Hal yang sangat penting setelah semuanya selesai dalam menerbitkan buku adalah memasarkan buku tersebut. Pemasaran inilah yang akan menjadi sukses tidaknya kita dalam usaha menerbitkan dan menjual buku ke pasar. Apalah artinya jika kita bisa menerbitkan tapi kita tidak bisa menjual. Buku hanya akan menjadi tumpukan di gudang rumah. Tak ada yang membeli dan hancurlah usaha penerbitan buku indie kita.
Sekarang usaha memasarkan buku bisa ditempuh dengan berbagai macam cara. Seorang motivator yang terkenal bisa saja menjual buku yang dibuatnya secara indie hanya pada saat dia mengadakan training/pelatihan yang dia asuh. Safir Senduk bisa menjual ratusan bukunya yang berjudul Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya? dalam setiap dia mengadakan seminar. Beberapa pembicara terkenal malah sudah mendayagunakan lembagannya untuk mendirikan penerbitan mandiri yang sebagian bukunya dijual saat mereka mengadakan acara. Dan kini penerbitan mereka tumbuh besar serta mampu bersaing di pasar buku Indonesia. Contohnya adalah Andrie Wongso dengan AW Publishing, Ary Ginanjar dengan ARGA Publishing, AA Gym (MQ Pub.), dll. Namun, itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sudah mempunyai pangsa pasarnya sendiri dari kemampuan mereka sebagai public speaker ternama.
Menitipkan buku kita ke toko-toko online juga merupakan usaha pemasaran buku. Dewasa ini, banyak sekali toko online yang bermunculan di internet. Baik yang didirikan oleh penerbit sendiri maupun lembaga/perorangan. Terbatasnya ruang etalase untuk memajang buku menjadikan toko online menjadi sebuah alternatif. Jika kita search di internet, telah begitu banyak toko buku online yang eksis. Kita bisa menghubungi kontak pemilik toko tersebut untuk bernegosiasi tentang rencana penitipan buku kita. Jangan anggap remeh dengan tingkat penjualan toko online. Nukman Luthfie – Online Strategist – memperkirakan omzet dari semua toko buku online di Indonesia mencapai lebih dari 200 juta per bulan (ini perkiraan tahun 2007). Sekarang (tahun 2009) toko buku online kutubuku.com mengaku menjual rata 2000 eksemplar per bulan dengan oplah tak kurang dari 60 juta. Sementara bukukita.com mengklaim menjual 3000 eks per bulan dengan omzet 1 miliar (sumber duniabuku.wordpress.com). Luar biasa bukan?
Walaupun toko buku online telah menjamur dengan penjualan yang terus meningkat, peluang ini belum bisa dijadikan sandaran utama bagi pemasaran buku-buku indie. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia tingkat kepercayaannya terhadap internet marketing masih rendah. Tapi bisa saja alasan ini terlalu sederhana atau malah salah, di kemudian hari, ke depan.
Memasarkan ke komunitas juga bisa diharapkan. Kita tidak hidup sendirian karena kita adalah makluk sosial. Siapapun membutuhkan komunitas. Pasarkanlah ke komunitas jika buku kita bersinggungan langsung dengan komunitas tersebut. Jika buku kita berisi tentang perkumpulan motor, maka pasarkanlah ke tempat mereka biasa nongkrong/berkumpul. Di Indonesia banyak sekali komunitas motor, dari yang berdasarkan jenis motor, merek motor, ataupun berdasarkan daerah/tempat tinggal. Jika buku kita berisi tentang biografi Iwan Fals, pasarkanlah pada komunitas penggemarnya, pasti akan laris.
Pendekatan komunitas ini salah satunya dilakukan oleh KPG dalam memasarkan buku Orang Mandar Orang Laut. KPG berusaha untuk mendekati komunitas-komunitas Mandar yang merupakan satu daerah di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Dari pendekatan itu akhirnya ada pengusaha dan pemerintah daerah di wilayah itu tertarik untuk membeli buku tersebut dengan jumlah sekitar 1.000 eksemplar.
“Kami berusaha langsung ke komunitas yang berkepentingan. Jadi, apabila awalnya hanya akan dicetak 2.000 sesuai dengan daya serap toko buku, dengan adanya pasar di luar itu maka buku tersebut akan dicetak lebih dari 2.000 eksemplar,” kata Aris Suwartono, Manajer Pemasaran KPG (sumber Kompas, 18 Juni 2008/arul.multiply.com).
Cara lain untuk memasarkan buku kita adalah dengan datang langsung ke toko-toko buku besar seperti Gramedia, Gunung Agung, Kharisma, Toga Mas, dll. Kita bisa temui bagian pengadaan barang toko tersebut untuk bernegosiasi. Jika diterima maka tiap bulan kita akan datang ke toko tersebut untuk meminta laporan penjualan sekaligus uangnya. Dengan memasarkan sendiri langsung ke toko buku, kita akan lebih diuntungkan dengan potongan diskon yang lebih rendah karena kita memotong jalur penjualan dengan meniadakan jasa distributor. Kita sendirilah yang langsung jadi distributornya.
Namun cara ini akan sangat melelahkan kita jika kita hanya bekerja sendiri. Bayangkan saja ada berapa toko buku di Indonesia? Taruhlah hanya di Jawa, apakah kita mampu mendatangi semua toko buku besar di pulau ini? Sangat merepotkan dan sangat memakan waktu, tenaga, dan biaya. Selain penerbit besar yang mempunyai banyak produk sekaligus sarana dan prasarana pemasarannya, yang mampu melakukannya hanyalah lembaga distributor buku.
Akan lebih masuk akal bagi kita jika mencoba cara lain, yaitu bekerja sama dengan distributor buku. Ada beberapa distributor buku yang dibentuk oleh sebuah penerbit guna memasarkan produk-produk penerbit tersebut sekaligus membuka kerja sama dengan penerbit-penerbit lain yang belum mempunyai lini pemasaran sendiri. Ada juga yang memang membuka usaha khusus di bidang distribusi buku dengan cara memasarkan buku-buku dari beberapa penerbit yang bekerja sama dengannya.
Adanya beberapa distributor dengan sendirinya mengakibatkan standar permintan diskon berbeda-beda. Pada umunya, distributor meminta diskon kepada penerbit/penulis berkisar antara 45-60%. Distributor yang besar dan mampu mendistribusikan buku dari penerbit ke seluruh Indonesia tentu meminta diskon lebih besar kepada penerbit daripada distributor yang baru bisa mencakupi wilayah Jawa saja, misalnya. Karena itu, kita harus menyesuaikan dengan jumlah buku kita. Jika kita mencetak hanya 1000 buku, mungkin itu cukup dipasarkan di pulau Jawa saja dan karenanya kita bisa meminta bantuan distributor kecil. Dengan distributor kecil, diskon yang mereka minta juga akan lebih kecil. Walaupun demikian tidak ada salahnya juga kalau kita meminta bantuan pada distributor besar asal dia bersedia.
Dan jika kita telah memutuskan untuk bekerja sama dengan distributor, maka kita harus sudah bersepakat atau paling tidak telah mengontak pihak tersebut sebelum naskah naik cetak. Jika kita harus bertemu dahulu, kita bisa membawa bentuk dummy-nya untuk diperlihatkan sebagai bahan pertimbangan. Jika kita telah bersepakat, maka begitu buku selesai cetak, kita tinggal mengirimkannya ke gudang distributor tersebut.
Pada umumnya perjanjian buku dengan distributor menggunakan sistem konsinyasi dan bagi hasil. Konsinyasi artinya kita menitipkan barang (buku) terlebih dahulu dan dibayar setelah dan sesuai jumlah buku terjual. Bagi hasil artinya uang buku yang kita terima harus dibagi antara kita dengan distributor. Besarnya pembagian sesuai dengan kesepakatan. Misalnya pada perjanjian, distributor meminta diskon 52% dari buku yang terjual. Jika buku harganya 50.000 dan terjual 1000 eksemplar, maka untuk distributor 50.000 X 1000 X 52% = Rp26.000.000. Sedangkan untuk kita 50.000 X 1000 X 42% = Rp24.000.000. Laporan penjualan dan pembayaran distributor kepada penerbit biasanya dilakukan tiap bulan.
Jika kita telah bersepakat dan telah menyerahkan buku kita kepada distributor, maka kita boleh berlega hati dan beristirahat. Dalam hitungan hari, buku kita akan terpampang di rak-rak toko buku berjajar dengan buku-buku yang lain. Pergilah ke toko buku dan persiksalah buku kita. Jika sudah ada di sana, kita pasti akan tersenyum, “This is my book! I can do it!”
Tugas kita selanjutnya adalah mempromosikan buku kita. Setelah itu kita tinggal menerima uang pembayaran tiap bulannya dari hasil penjualan buku. Jika buku kita laris, dalam waktu cepat akan tercapai break event point dan mendapat untung.
Cara lain memasarkan buku indie adalah dengan bergerilya sendiri. Sebagian sudah saya sebutkan di atas, yaitu dengan pemasaran online yang dilakukan melalui jejaring sosial. Kita harus menyadari fenomena kekuatan ini. Facebook, tweeter, dan media lain seperti blog dan Youtube, sangat banyak penggunanya, terutama di Indonesia.
Ada beberapa keuntungan jika penulis memasarkan bukunya sendiri melalui media online, di antaranya sebagai berikut:
- Gratis, alias tidak membayar pajak, sewa, dll. Penulis hanya perlu membayar biaya internet yang dipakai.
- Bebas dan tak terbatas. Anda bebas untuk membuat ulasan, sinopsis, dll lalu memasangnya di media online tanpa takut dipenggal kaliamat atau paragrafnya. Dan, iklan buku Anda tak terbatas ruang dan waktu. Sekali diposting, maka iklan bisa diakses siapapun, di manapun.
- Tidak perlu stock buku dalam jumlah banyak. Penulis bisa cetak bukunya sebanyak 50 eksemplar dulu untuk menjajaki pasar, atau bahkan, penulis bisa baru mencetak bukunya ketika sudah ada yang pesan. Sekarang banyak jasa layanaan cetak satuan atau paket penerbitan dengan sistem print on demand.
Pemasaran online yang dilakukan sendiri dan cukup berhasil, tentu sudah banyak dilakukan oleh para penulis. Ada banyak penulis yang cukup terkenal, tapi dia tidak bisa menjual bukunya, namun sebaliknya, ada penulis yang tidak terkenal, tapi ia pandai untuk menjual karyannya.
Salah satu klien kami, Bunda Lily, telah menerbitkan 5 bukunya secara mandiri, dan masing-masing judul berhasil terjual lebih dari 150 eksemplar, bahkan ada yang melebihi 200 eksemplar. Dan beliau mencetak bukunya secara bertahap, 30 eks, 50 eks, 100 eks, dan jumlah-jumlah lain, sesuai pesanan. ***